Psikolog Elly Risman tak bisa menyembunyikan kesedihannya di depan sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, dia menangis, suaranya bergetar dan terbata-bata. Saat itu, Kamis (12/01/2017), dia masih berdiri di mimbar untuk berbicara sebagai saksi ahli dalam judicial review atau uji materi pasal-pasal kesusilaan, yaitu pasal 284, 285, dan 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sesaat sebelum mengakhiri keterangannya, pakar parentiang itu mengibaratkan upaya yang dilakukannya dalam menangkal perzinaan, seperti peran cacing tanah dalam menyuburkan tanah. Cacing tanah akan sangat kesulitan menyuburkan tanah jika tak ada hujan. Pentingnya hujan dalam proses penyuburan tanah diasosiasikannya sebagai peraturan dalam menanggulangi perzinahan, termasuk homoseksual, yanag telah menjadi pandemi.
“Lelah sekali yang mulia jadi cacing tanah, lelah sekali. Semoga yang kami kerjakan diridhai Allah,” kata Elly sambil menahan tangisnya. “Kalau yang mulia tidak mengabulkan permohonan juduicial review ini kita hancur sudah 3 generasi, kalkulasi kami.”
Judicial review atau uji materi pasal 284, 285, dan 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Guru Besar Bidang Ketahanan Keluarga IPB Bogor, Euis Sunarti. Dia mengajukan uji materi bersama pemohon lainnya, yaitu Rita Hendrawaty Soebagio, SpPsi, MSi; Dr Dinar Dewi Kania; Dr Sitaresmi Sulistyawati Soekanto; Nurul Hidayati Kusumahastuti Ubaya, SS, MA; dan Dr Sabriaty Aziz. Ada juga Fithra Faisal Hastiadi, SE, MA, MSc, PhD; Dr Tiar Anwar Bachtiar, SS, MHum; Sri Vira Chandra D, SS, MA; Qurrata Ayuni, SH; Akmal, ST, MPdI; dan Dhona El Furqon, SHI, MH. Permohonan uji materi KUHP Pasal 284, 285 dan 292 ke Mahkamah Konstitusi dilakukan sejak tanggal 19 Juni 2016.
Pasal 284 mengatur tentang perzinahan, pasal 285 tentang perkosaan, dan pasal 292 tentang perbuatan cabul homoseksual. Pasal-pasal itu tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang selama ini diambil dari hukum kolonial Belanda yaitu, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang telah diberlakukan sejak 1 Januari 1918. Setelah Indonesia merdeka dan dilakukan pencabutan pasal-pasal yang tidak relevan, kitab hukum Belanda itu diadopsi menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada tahun 1946. KUHP warisan kolonial Belanda dinyatakan berlaku di seluruh Indonesia sejak 20 September 1958.
Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, Rita Hendrawaty Soebagio mengatakan pemohon memiliki legal standing untuk melakukan uji materi karena terjadinya kerusakan moral di masyarakat. Menurtunya sudah saatnya Indonesia memiliki perundangan yang mencukupi dalam melindungi hal-hal terkait perzinahan, perkosaan, dan perilaku homoseksual. “Ini bukan saja perjuangan yang mewakili atau berdasarkan kepentingan kelompok tertentu, tetapi ini adalah kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan bangsa dan negara, terutama melindungi masa depan keluarga-keluarga Indonesia, khususnya dari berbagai kerusakan moral, akhlak, dan perilaku yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini,” ujarnya.
Pasal 284 KUHP mengatur tentang sanksi pidana zina hanya bagi laki-laki beristri dan perempuan bersuami. Pemohon meminta MK untuk melakukan perluasan norma sehingga yang dikenakan pidana adalah seluruh perbuatan zina yang dilakukan laku-laki dan perempuan, bukan hanya yang terikat perkawinan. Selanjutnya, pasal 285 KUHP semula hanya mengatur dipidana pelaku perkosaan laki-laki yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya. Pasal itu dimohonkan diubah menjadi setiap orang, laki maupun perempuan, yang dengan memaksa kekerasan atau ancaman kekerasan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, bersetubuh dengannya.
Terakhir pasal 292 yang sebelumnya hanya mengatur pidana perbuatan homoseksual yang dilakukan orang dewasa dengan orang yang belum dewasa, dimohonkan diubah menjadi setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama. Jika permohonan diterima, maka perbuatan homoseksual bisa dipidana.
Kejahatan Seksual Terbongkar
Keluhan yang disampaikan Elly Risman dan alasan pengajuan uji materi oleh pemohon judicial review memang tak mengada-ada. Problem kesusilaan jika ditilik dari jumlah pengidap penyakit menular seksual, angkanya makin mengkhawatirkan. Data Kementerian Kesehatan menyebutkan jumlah penderita HIV/AIDS, penyakit yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya, mencapai 276 ribu orang di awal tahun 2017. Angka itu hanya mencakup penderita yang melakukan pemeriksaan kesehatan, sementara yang belum terdata diperkirakan masih sangat banyak.
Di saat yang sama, kemajuan teknologi membuat perzinaan semakin menjadi-jadi. Praktik prostitusi begitu masif terjadi di zaman serbaa internet. Para pelaku bisa dengan mudah berinteraksi dan bertransaksi secara terbuka di media sosial. Aplikasi khusus yang menyediakan layanan prostitusi pun bermunculan bak cendawan di musim hujan.
Mirisnya, praktik prostitusi juga telah menjadikan anak-anak sebagai objeknya. Bocah-bocah aitu dijajakan melalui aplikasi telepon pintar, dan menjadi mangsa orang-ornag dewasa. Yang paling menggemparkan, prostitusi yang menjadikan anak-anak sebagai objek kaum gay terbongkar di Bogor dengan menggunakan setidaknya 18 jenis aplikasi.
Ancaman predator anak semakin nyata setelah polisi meringkus jaringan pedofilia di grup Facebook medio Maret 2017. Sebuah grup bernama Official Candy’s Group digerebek polisi setelah terbukti menjadi sarang sindikat pornografi anak. Lima orang ditangkap terkait sindikat itu.
Tahun 2017 juga ditandai dengan terbongkarnya lokasi prostitusi kaum homoseksual. Pesta gay di dua lokasi berbeda di Jakarta diungkap polisi, setelah ada laporan dari masyarakt yang gerah dengan kegilaan yang terjadi. Sebuah lokasi berkedok pusat kebugaran dan spa di Kelapa gading, Jakarta Utara digerebek polisi saat tengah menggelar pesta sesk sesama laki-laki, 21 Mei 2017. Sebanyak 141 orang diamankan polisi kala itu.
Beberapa bulan kemudian, tempat spa gay di bilangan Harmoni, Jakarta Pusat juga digerebek. Sebanyak 51 orang diamankan polisi pada 8 Oktober 2017. Di dua lokasi tersebut, pihak berwenang tak hanya menangkap warga negara Indonesia, tapi juga menciduk pengunjung warga negara asing.
Gerakan Sistematis Promosi LGBT
Tak hanya perilaku pengidap Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), kampanye yang dilakukan dalam rangka mendukung eksistensi pelaku seks menyimpang itu juga membuat gerah. Seperti diketahui, tahun lalu publik dibuat terhenyak dengan adanya proyek United Nations Development Programme (UNDP) untuk mendukaung LGBT di empat negara. Indonesia masuk dalam daftar bersama China, Filipina, dan Thailand. Tak tanggung-tanggung, lembaga PBB itu menggelontorkan dana sebesar USD 8 juta atau sekitar Rp108 miliar untuk keberlangsungan proyek itu. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan tegas untuk menghentikan proyek itu.
Tak berhenti sampai di situ, pada pada tanggal 3-5 Mei 2017, Indonesia terlibat dalam sidang Tinjauan Universal Berkala atau Universal Periodic Review (UPR) Indonesia yang diselenggarakan di hadapan Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss. Agenda itu menjadi ajang bagi PBB untuk mengingatkan negara-negara anggotanya untuk menghormati dan melaksanakan HAM dan kebebasan dasar. Total Indonesia menerima 225 rekomendasi, termasuk 15 rekomendasi terkait perhatian terhadap kelompok LGBT. Namun, dalam forum itu Indonesia menolak rekomendasi untuk menerima LGBT.
MK Kandaskan Harapan
Sepanjang tahun 2017 memang diwarnai dengan terbongkarnya berbagai kasus terkait kesusilaan dan perilaku LGBT. Namun, rupanya hal itu tak mampu menggerakkan Mahkamah Konstitusi untuk mengimbil sikap yang tegas dengan mengabulkan permohonan uji materi pasal kesusilaan, yaitu pasal 284, 285, dan 292 KUHP. Mahkamah Konstitusi akhirnya mengeluarkan putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, Kamis (14/12/2017).
Dalam amar putusannya lembaga itu menyatakan, “Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya”. Dalam putusannya MK menyebut, “Mahkamah berpendapat permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum.” Alasannya Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk membuat norma seperti yang diajukan pemohon, karena merupakan kewenangan lembaga legislatif.
Dalam putusannya, MK juga melampirkan pendapat berbeda (dissenting oponion) dari empat orang Hakim MK, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiddudin Adams, dan Aswanto. Keempat ornag hakim konstitusi itu berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon. Menariknya, di akhir pandangan untuk tiap pasal yang diajukan dalam uji materi, keempat hakim itu selalu menyatakan, “kami berpendapat hal ini merupakan open legal policy pembentuk undang-undang. Pandangan itu bisa dibaca sebagai cara melimpahkan kewenangan kepada lembaga legislatif, dan yang terpenting tak mengubah pengertian bahwa MK menolak permohonan uji materi tersebut.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Fitra Arsil mengatakan seharusnya Mahkamah Konstitusi bisa menerima permohonan uji materi pasal 284, 285 dan 292 KUHP tersebut. Putusan MK dan proses leagislasi sesungguhnya memiliki hubungan sistemik, bukan saling bertentangan. Terlebih, saat ini RUU KUHP kini tengah dalam proses penggodokan di DPR. “Proses legislasi membutuhkan putusan MK sebagai materi muatan dan putusan MK membutuhkan proses legislasi sebagai tindak lanjut dari putusan tersebut. Maka posisi putusan MK dalam sistem ini seharusnya lebih dahulu, selanjutnya diikuti dalam proses legislasi,” terangnya.
Rakyat Indonesia sampai saat ini masih bergantung pada aturan pidana warisan kolonial Belanda. Ditengah maraknya kejahatan terkait kesusilaan dan perilaku homoseksuaal, uji materi MK lalu sempat memunculkan harapan. Tapi harapan itu kandas dengan penolakan.
Penulis: Imam S.
kiblat.net
Silakan Tinggalkan Balasan: